Langsung ke konten utama

Banyak Tapinya, Tapi Untungnya Aku Terus Berjalan: #4

Bercerita atau memendam? Tapi...

Sebenarnya, tidak banyak yang ingin aku cerita. Kata orang bercerita dapat apa—kalau enggak dihakimi, ujungnya adu nasib ataukah dibilangin sabar. Kendati pun demikian, menyimpan banyak cerita adalah suatu kemungkinan yang membuat manusia bergerak di ruang terbatas. 

Cerita yang aku maksud bukanlah cerita tentang seorang mahasiswa yang dibunuh temannya karena cuman bisa satu hero dalam game online. Tapi, cerita yang aku maksud adalah sebuah masalah yang kemudian menjadi cerita yang panjang.

Di lain sisi, cerita itu seperti sebuah jebakan yang tak jarang membuat si pencerita buta arah untuk menjelaskannya. Terlalu panjang untuk diceritakan dan terlalu memuakkan untuk di pendam. Bercerita atau pendam sendiri? Dua hal yang menjadi keputusan panjang bagi si pencerita.

Kadang diam menjadi solusi, tapi kadang juga menjadi jebakan. Bagiku sendiri, membisu bagi sesuatu yang harusnya berteriak sesungguhnya sebuah langkah awal menuju kutukan. Selama ini, aku menyimpan dan atau mendiamkan beberapa cerita. Pada akhirnya, cerita yang aku simpan terlalu lama menimbulkan suatu masalah besar bagiku sendiri. 

Tertutup! Mungkin itulah kata yang tepat untuk menjelaskannya. Semakin aku menutup sebuah cerita, semakin berantakan isi pikiranku. Lama-lama, pikiranku kian hari kian membunuh diriku sendiri. Aku membiarkan saja hal itu terjadi dengan dasar bahwa mungkin semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan. 

Seiring waktu, cerita itu semakin banyak, bertumpuk, lalu itu tertimbun. Hingga akhirnya, aku sulit menemukan jalan keluar bagi ceritaku yang cukup melelahkan. Memendamnya? Entah, kalau aku pikir lagi. Mau sampai kapan memendam semua ini, aku sudah bosan menjalani cerita yang selalu berujung pada kepedihan. 

Jalan satu-satunya untuk keluar dari semua itu adalah bercerita walaupun aku tahu bahwa sebagian orang sudah terbiasa mendiamkan ceritanya karena mereka tidak mau dikatai sebagai orang yang berisik. Bila semuanya lekas membaik, barulah mereka muncul dengan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Sungguh! Manusia kuat!

Tetapi dilain sisi, ada juga orang yang selalu bercerita tentang apa yang terjadi dengannya bahkan sampai kesehariannya. Sungguh! Manusia kuat! 

Si pendiam dan si paling berisik. Dua-duanya adalah manusia yang kuat. Satunya, mampu menjalani semuanya sendiri. Satunya lagi, mampu jujur pada keadaannya. Lalu aku bagian yang mana?

Sekarang, rasa-rasanya aku tidak ingin memilih. Sebab memang ada hal yang harus diceritakan dan ada hal yang harus diselesaikan dengan diri sendiri. Tapi, penting untuk jujur pada diri sendiri. Terlalu munafik kalau aku tidak ingin bercerita dan demikian sebaliknya. 

"Ini... ini, harus bagaimana Ibu?" 

Begitulah pertanyaan yang selalu menjurus saat aku sedang mempertimbangkan banyak hal dan berusaha memilih antara bercerita ataukah memendamnya. 

"Ibu, seandainya Ibu tau kalau saat ini aku benar-benar ingin menangis. Ibu, aku takut mereka menghakimiku tapi aku ingin bercerita Ibu?"

"Tapi kepada siapa Ibu? Pada Tuhan? Setiap malam aku selalu bercerita pada-Nya. Sungguh! Keadaan ini memuakkan! Aku bosan bercerita pada diriku sendiri!"


Introspeksi

Setelah mengucapkan kalimat itu di dalam kepalaku. Aku membuang napas panjang. Aku tidak tau kapan dimulainya semua ini. Rasa-rasanya terjadi saja secara kebetulan. Tempat penyimpanan memori berupa alam bawah sadar terbangun begitu saja. Aku tidak tahu kapan itu terjadi. Aku hanya tetap berpegang teguh bahwa itu adalah bagian dari proses pendewasaan.

"Ya, mungkin itu," gumamku.

Aku menarik sedikit kakiku sejajar dengan lutut. Aku tengah duduk di atas kursi depan kosan. Segelas kopi sudah habis dengan ribuan makna membius pikiranku. 

Kosanku tidak cukup luas, tapi untuk apa selalu tidak merasa cukup? Bukankah kepuasan adalah kebebasan? Itu tepat menurutku. Walau hanya bangunan kecil berukuran empat kali empat, itu sudah cukup untuk merangkai masa depan dan mengukir cerita yang panjang.

Di depan pintu kamar, sejenak aku ingin bersandar lebih lama dengan malam tanpa bintang. Masih banyak yang tidak aku ketahui perihal bercerita dan memendam. Ada baiknya aku istirahat sebentar untuk merenungkan kehidupan. Apalah yang paling mengalir diceritakan selain kehidupan dengan batasan-batasan tertentu. 

Kebahagiaan tanpa renungan hanyalah omong kosong. Paling tidak, ada sedikit bagian refleksi untuk memaknai hari ini, sudah itu pasti ada sela-sela dari kekacauan untuk menemukan kebahagiaan tersendiri.

Kini, aku mengerti kenapa malam dan siang diciptakan berpasangan. Malam untuk merenungi kehidupan dan siang untuk menjalani kehidupan. Dua hal yang membuat manusia mengerti apa arti dari kehidupan.

Di atas teras, suara hujan menggerutu. Alunan alamiah dari ritme benturan hujan di atas atap menjadi sebuah saksi. Teras yang menjadi sebagian dari kehidupan manusia. Yang tidak mengerti akan memahami. Yang tidak tahu akan menjadi tahu. Menyatu dalam kediaman satu tempat yaitu teras. Ada yang kacau, duduk di teras. Bahagia pun sama persisnya. Tiada tempat paling indah selain teras, bagian kosan ini yang paling indah setiap subuh menjemput pagi hingga temaram menjemput malam. 

Teras adalah tempat dimana kebahagiaan dan kesedihan dipertemukan. Menyatu sebagai renungan atau sebuah introspeksi yang menyadarkan manusia tentang pentingnya kehidupan. Di teras, orang tua menyusun rencana, strategi, dan berbagai macam bentuk pilihan untuk menentukan arah kehidupan. Sebab itu, aku merasa bahwa teras adalah tempat paling indah dan menyenangkan. 

Ada orang yang sukanya sama gunung, perpustakaan, ataukah pantai dan masih banyak tempat lainnya yang menawarkan keagungannya. Tapi, aku hanya menyukai satu tempat yaitu teras kosan. Mungkin karena tempat inilah yang menjadi korban dari semua kekacauan yang aku miliki. Andai kata, teras kosan ini dapat berbicara, mungkin ia juga muak dengan semua yang aku sampaikan.

Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang membuatku lebih merasa tenang selain tempat ini. Satu-satunya bagian kosan ini yang selalu aku rindukan tiap aku pulang kampung. Bagiku, kesimpulan ada pada teras ini. Walaupun banyak tapinya, tapi untungnya aku terus berjalan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tetanggaku

"Orang yang paham akan cenderung mempelajari dan, orang yang tidak paham akan cenderung menghakimi." Masyarakat Sini. Beginilah hidup di tengah-tengah mereka. Apa-apa kalau kita orang tak berada yah di lihat ke bawah. Padahal aslinya otak mereka harus sedikit di bedah. Tidak harus banyak. Sedikit saja.  Hidup di tengah-tengah mereka, tidak jarang membuatku menepi. Bukan karena takut atau tidak berani. Tapi, mau dikasih tahu mereka tidak peduli. Dibiarkan malah menjadi-jadi. Lepas itu. Mereka yang sepaham akan sama-sama mempelajari dan mereka yang tidak sepaham akan sama-sama menghakimi.  Tak jarang pula, aku kerap menemukan kejanggalan. Yang katanya beretorika jadinya mengada-ada. Yang katanya berlogika jadinya pasang dada. Yang katanya punya segalanya jadinya meminta-minta tenaga kerja. Jadi pusing yang pamam mana dan yang tidak.

Dari kaca mata mereka

Ayam-ayam jantan berkabar ke seluruh kota. Si tukang koran baru saja lewat. Para mahasiswa satu per satu tampak lalu lalang. Pameran-pameran kaos baru saja di mulai. Stile-stile mulai beradu gengsi. Sepatu putih, celana jeans , dan tentu saja jaket over size . Kalau tidak, yah pasti baju dengan ukuran yang melebihi badan si pamerannya.  Kurang lebih dua menit. Aku baru saja tiba di kampus. Celana ala kadarnya. Kata mereka sih, ini adalah celana buangan. Kemeja flanelku terkesan seperti "Jamet" kata temanku. Itu masih mending, masih nyaman, dan tentu tidak merugikan mereka. Di atas kepalaku berdiamlah kupluk yang paling banyak di lirik oleh mereka. Kata mereka lagi, ini membuatku tampak seperti anak kuli bangunan bukan anak kuliahan.  Tertelan menit. Lewatlah sepatu putih melintas di depanku. Kali ini aku sudah duduk di tangga. Mumpung dosen belum ada, barangkali sebatang rokok masih bisa membunuh pikiranku tentang lirikan mereka. Contohnya saja yang baru saja lewat. Sepatu pu...

Pemulihan - Hari Pertama

Pagi  ini terasa berbeda lagi dari pagi yang kemarin. Hari ini lebih sedikit membahagiakan, walau pikiran-pikiran masih sering mengacaukan perjuangan pemulihan ini. Pulih yang saya maksudkan adalah pulih dari apa yang terus menempel dalam pikiran. Dengan kata lain adalah pikiran buruk serta ketakutan. Dari pengantar hingga sampai di halaman ini, mungkin masih belum cukup untuk menjelaskan apa sebetulnya tujuan tulisan ini. Saya sendiri sebagai dalang lahirnya tulisan ini tidak mengerti apa yang saya tuliskan. Ini hanya semacam bercerita tanpa suara. Melepaskan keresahan yang ada dalam pikiranku. Bukankah kekacauan juga seperti itu, sering kita tidak tahu di mana letak kekacauan bermula. Tapi semalam saya mendapatkan sebuah kesadaran, bahwa kekacauan ini berawal dari kekecewaan kita yang mulai menyerempet masuk ke dalam batin kita. Yang pada akhirnya menjatuhkan kita pada dunia yang bukan kita inginkan. Kita jauh dari Tuhan. Kita kekurangan kebahagiaan. Kita haus akan perhatian, ent...