Langsung ke konten utama

Pemulihan - Hari Pertama

Pagi ini terasa berbeda lagi dari pagi yang kemarin. Hari ini lebih sedikit membahagiakan, walau pikiran-pikiran masih sering mengacaukan perjuangan pemulihan ini. Pulih yang saya maksudkan adalah pulih dari apa yang terus menempel dalam pikiran. Dengan kata lain adalah pikiran buruk serta ketakutan.

Dari pengantar hingga sampai di halaman ini, mungkin masih belum cukup untuk menjelaskan apa sebetulnya tujuan tulisan ini. Saya sendiri sebagai dalang lahirnya tulisan ini tidak mengerti apa yang saya tuliskan. Ini hanya semacam bercerita tanpa suara. Melepaskan keresahan yang ada dalam pikiranku. Bukankah kekacauan juga seperti itu, sering kita tidak tahu di mana letak kekacauan bermula. Tapi semalam saya mendapatkan sebuah kesadaran, bahwa kekacauan ini berawal dari kekecewaan kita yang mulai menyerempet masuk ke dalam batin kita. Yang pada akhirnya menjatuhkan kita pada dunia yang bukan kita inginkan. Kita jauh dari Tuhan. Kita kekurangan kebahagiaan. Kita haus akan perhatian, entah dari teman, dari pasangan, ataukah dari orang-orang yang kita anggap spesial dalam hidup kita.

Kesadaran semalam cukup membuat saya yakin bahwa sebetulnya saya haus atas pengakuan dari orang lain. Saya terlalu kesepian dan mencari perhatian dengan cara yang kurang tepat. Setiap hari saya memperbaharui postingan saya supaya pengikutku tahu bahwa aku juga bisa seperti mereka, padahal semua itu tidak ada gunanya. Hal yang paling bodoh yang saya lakukan adalah mencari perhatian dengan pemaksaan diri saya sendiri. Bahkan saya baru saja sadar bahwa saya sebetulnya telah kehilangan diri saya sendiri. Apa kalian juga pernah seperti itu?

Tapi. Ada tapinya. Semua itu saya lakukan untuk melepaskan sedikit keresahan dalam pikiran saya. Sama halnya dalam menulis catatan ini. Saya sedang meluapkan emosi saya, entah itu emosi negatif ataukah positif semuanya akan saya ungkapkan secara terang-terangan. Tulisan ini tidak akan menyembunyikan apapun dari saya dan/atau kebohongan. Mungkin kalian akan mengatai diri saya sebagai seorang yang memiliki SDM rendah sama seperti kata netizen yang ada di media sosialku. Bagaimana tidak? Saya selalu mengarang kebohongan setiap hari hanya untuk mencari perhatian dari orang-orang. Supaya saya tidak kehilangan teman. Supaya saya tidak merasakan kesepian. Itu gila enggak sih? 

Di sini. Di kamar kostan yang ukurannya kecil. Harga perbulannya 400.000,- ditambah uang token listrik dan juga uang air. Jadi mungkin totalnya adalah 500.000,- tapi penulisan rupiah sudah betul seperti di atas? Ah, aku malas memikirkan itu. Nanti saja aku memperbaikinya. 

Nah, saya lanjutkan lagi. Tiga hari yang lalu salah seorang teman kelasku datang di kamar kostanku. Namanya Alghi atau dengan nama panjang Alghi Jufri. Alghi datang bukan karena kemauan tersendiri. Namun, saya sendirilah yang menawari Alghi datang ke kamar kostan saya. Untuk apa saya memintanya datang? Ada yang tahu? Atau kalian sudah menebaknya? Bukan saya dong kalau tidak ada keuntungan di balik semua yang saya lakukan. Benar, saya menawarkan sesuatu padanya. "Daripada kau capek-capek cari kamar lagi, mending di sini saja kamarku. Saya yang bayar kamarnya. Kau tinggal masuk saja. Tapi..." ujarku di pagi hari tiga hari yang lalu. 
'kan sudah saya bilang, bukan saya kalau tidak ada tapi-tapinya.
"Tapi yang aku butuhkan hanya motormu saja. Karena saya tidak punya motor. Gedung kampus saya pun tidak jauh," tutup saya.
Mungkin yang saya lakukan cukup baik tapi buruk karena aku telah menggantungkan harapanku pada Alghi. Dan, saya sadar bahwasanya saya masih ingin untuk sendiri dan tidak terikat pada siapapun.

Siangnya Alghi datang dan benar saja dong, saya dan Alghi banyak memiliki latar belakang yang berbeda. Satu yang sangat jauh berbeda; Alghi berdoa dengan tasbih dan saya berdoa dengan rosario. Namun, ada sebuah keharmonisan yang saya banggakan saat ini yakni ketika Alghi melepas sajadahnya, saya menggantikannya dengan melakukan mediasi. Aku menemukan kesadaran baru bahwa toleransi itu sangat damai dan tenang dirasakan. Senyumku tatkala terukir saat mulai mengevaluasi dari awal Alghi bersama denganku hingga saat ini. Belum lama si. Baru tiga hari, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya pencipta yang bisa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bicara-bicara di atas saya sempat membahas kampus ya? Oh iya benar, saya baru saja kembali ke atas mengeceknya apakah benar atau tidak dan tentunya benar. Baiklah akan kuceritakan kampusku dan segala keindahan dan keburukannya. Barangkali itu bisa memperpanjang sedikit tulisan ini. 

Universitas Andi Djemma atau yang kerap di singkat menjadi UNANDA. Salah satu universitas swasta yang ada di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Sejak masuk ke dalam kampus ini rasa-rasanya saya segera keluar tapi-tapi saku ayahku tidak punya cukup banyak uang untuk menuruti perintahku. Belum lagi omelan ayah yang tak jarang membuatku bosan tapi merantau begini kok rada-rada merindukan omelan ayah itu ya? Kalian seperti itu?

Kita putar arah. Kita kembali ke pembahasan sebelumnya: Kampus. Oh iya, kampus yang sekarang saya tapaki memiliki beberapa prodi salah satunya yang paling melonjak tinggi sekarang adalah prodi teknik pertambangan fakultas teknik. Bayangkan saja sejak di buka saya dan teman lainnya menjadi paling banyak sebagai mahasiswa baru di semua prodi. Saya bersama mahasiswa lain yang juga memilih teknik pertambangan menjadi angkatan pertama di kampus ini. Lumayan sulit untuk di jalani, sejak masuk kuliah, kalau tidak zoom ya ke rumah dosen. Memang hal yang tidak bisa di paksakan karena memang fasilitas kampus tidak memadai. Kalau di pikir-pikir ini adalah dunia kampus yang paling menyebalkan yang saya dengarkan dari cerita-cerita temanku yang berada di kampus yang berbeda. Di saat mereka menceritakan tentang fasilitas kampus mereka, tak jarang membuatku juga memasang dada menceritakan bagaimana kampus ini. Mulai juga menceritakan tentang almamater putih kampus yang saya banggakan. Pertama memakainya, saya terlihat seperti seorang dokter spesialis. 

Semakin hari nampaknya semakin saya bosan. Kelas tidak ada, bahkan kuliah menjenuhkan. Bagaimana tidak? Hanya duduk diam di depan monitor tanpa mengerti apa-apa. Dosen-dosen yang mengajar sudah semakin capek menjelaskan dan saya sendiri semakin capek mendengarkan. Ayo siapa yang juga seperti itu? 

Parahnya setelah selesai zoom, tugas langsung meluncur. Untung saja ada google. Benar 'kan? Sekarang sudah semakin instan. Saya khawatir orang-orang akan mati konyol di tempat tidur. Salah satunya saya sendiri. Tapi saya rasa, saya masih mending, saya mengerjakan tugas dibandingkan tidak sama sekali dan ya, IPK semester pertama saya tidak buruk-buruk amat dengan angka 3,8. Lumayan sih.

Karena proses itu juga adalah hal yang menentukan perjalanan saya menuju yang katanya masa depan. Benar atau tidaknya, saya hanya berjalan sesuai yang sudah ditentukan. Bukan terbawa arus, tapi proses menerima kenyataan. Dipaksakan juga hanya akan memperburuk keadaan. Jadi berjalan saja sambil menggenggam sebuah tujuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tetanggaku

"Orang yang paham akan cenderung mempelajari dan, orang yang tidak paham akan cenderung menghakimi." Masyarakat Sini. Beginilah hidup di tengah-tengah mereka. Apa-apa kalau kita orang tak berada yah di lihat ke bawah. Padahal aslinya otak mereka harus sedikit di bedah. Tidak harus banyak. Sedikit saja.  Hidup di tengah-tengah mereka, tidak jarang membuatku menepi. Bukan karena takut atau tidak berani. Tapi, mau dikasih tahu mereka tidak peduli. Dibiarkan malah menjadi-jadi. Lepas itu. Mereka yang sepaham akan sama-sama mempelajari dan mereka yang tidak sepaham akan sama-sama menghakimi.  Tak jarang pula, aku kerap menemukan kejanggalan. Yang katanya beretorika jadinya mengada-ada. Yang katanya berlogika jadinya pasang dada. Yang katanya punya segalanya jadinya meminta-minta tenaga kerja. Jadi pusing yang pamam mana dan yang tidak.

Dari kaca mata mereka

Ayam-ayam jantan berkabar ke seluruh kota. Si tukang koran baru saja lewat. Para mahasiswa satu per satu tampak lalu lalang. Pameran-pameran kaos baru saja di mulai. Stile-stile mulai beradu gengsi. Sepatu putih, celana jeans , dan tentu saja jaket over size . Kalau tidak, yah pasti baju dengan ukuran yang melebihi badan si pamerannya.  Kurang lebih dua menit. Aku baru saja tiba di kampus. Celana ala kadarnya. Kata mereka sih, ini adalah celana buangan. Kemeja flanelku terkesan seperti "Jamet" kata temanku. Itu masih mending, masih nyaman, dan tentu tidak merugikan mereka. Di atas kepalaku berdiamlah kupluk yang paling banyak di lirik oleh mereka. Kata mereka lagi, ini membuatku tampak seperti anak kuli bangunan bukan anak kuliahan.  Tertelan menit. Lewatlah sepatu putih melintas di depanku. Kali ini aku sudah duduk di tangga. Mumpung dosen belum ada, barangkali sebatang rokok masih bisa membunuh pikiranku tentang lirikan mereka. Contohnya saja yang baru saja lewat. Sepatu pu...