Langsung ke konten utama

Banyak Tapinya, Tapi Aku Terus Berjalan : #1

Aku sudah kehilangan cara untuk menghitung seberapa banyak pertanyaan yang terus berulang-ulang aku sebutkan setiap malam. Terlalu mengganggu tidurku dan sulit membuatku yakin pada apa yang sudah jauh berjalan. Aku cukup menyesal, kenapa sebelum kita bertemu, kesadaran ini hadir untukku. Andai kata sebelum jauh mengenalmu, aku sudah menyadari tentang hubungan tanpa kepastian ini, mungkin saja aku tidak akan sejauh ini terluka dalam perasaan. Bila saja kamu menjadi aku, mungkin kamu akan mengerti seperti apa tersiksanya menjalani hubungan ini atau... Mungkin kamu sudah pernah berada diposisi yang sekarang ini aku pijak, hanya saja tidak denganku. Tapi, kenapa justru kamu membuatku sulit mengerti tentang dirimu, seperti apa yang ada pada perasaanmu ataukah masalah apa yang membuatmu selalu menjauh dari perdebatan tentang perasaan. Bukankah jika benar bahwa kamu sudah pernah menjalani semua ini, maka kamu tidak akan membuatku tersiksa semacam ini. 

Sungguh! Ini melelahkan! Saking lelahnya, aku kadang berpikir untuk mengakhiri hubungan yang seperti ini. Di sisi lain, kita untuk sementara tidak bisa dijelaskan dalam bentuk hubungan apa pun. Aku dan kamu sebetulnya tidak pernah menjadi siapa-siapa, akulah yang selalu menjadi apa-apa untukmu. Inilah, itulah, apa-apa—aku selalu menjadikannya sebagai suatu cara untuk mencari jawaban yang paling hatiku inginkan. 

Kita itu sebenarnya apa? Apa kamu memiliki perasaan denganku? Apa kamu juga takut kehilanganku? Dan masih banyak pertanyaan lain yang hatiku inginkan. Seolah aku menjalani hubungan tanpa tujuan, tepatnya adalah kepastian. Kamu juga sulit untuk diajak bicara, kepedulianmu sangat susah didapatkan, sedangkan aku sudah tidak tahan dengan pikiranku sendiri. Kau terus saja menjebak diriku dalam ketidaktahuan, apakah kau benar mencintaiku atau hanya sekadar sebagai teman cerita. Sementara itu, harapan yang aku miliki sangat besar untuk mendapatkan dirimu dan tak mau kehilanganmu. 

Benar kata orang bahwa mengangtungkan harapan kepada manusia bukanlah sesuatu hal yang tepat untuk memperoleh kebahagiaan. Ini persis sama yang terjadi saat ini, harapan besar adalah untuk memilikimu, sudah itu, mungkin aku akan sedikit lebih tenang dan bahagia, menurutku. Tapi setelah perdebatan panjang tentang perasaan dan pikiran, aku mulai merasakan bahwa sebenarnya mendapatkan dirimu adalah sesuatu yang tidak selamanya menyenangkan, terkadang juga menyedihkan. 

Aku kadang berpikir bahwa mendapatkan dirimu malahan membuat ketakutan akan kehilangan dirimu bertambah, sedangkan bila aku mengakhiri semua ini, apa aku bisa melupakanmu? Sungguh! Posisi yang benar-benar menguras banyak energi! Tapi apa aku terus berpura-pura? Tapi apa aku harus berbohong pada diriku sendiri? Bahwa sebetulnya aku tidak ingin semua itu terjadi. Aku tak tau lagi dengan cara seperti apa aku keluar dari semua ini. Hanya Tuhan yang dapat memberikan jawabannya setelah aku sudah sangat bosan bertanya-tanya.

Kepada Tuhan, aku juga sudah tidak tahu seberapa sering aku melantunkan kalimat panjang, mencoba untuk merayu-Nya setiap pucuk malam bersenandung tenang. Agaknya, aku telah mendapatkan semua yang aku inginkan walaupun itu hanya kecil tapi rasa syukur selalu mendampingi prosesku. Tapi kenapa mendapatkan dirimu sangat susah bagi Tuhan untuk mengabulkannya. Sementara proses yang lainnya berjalan sesuai dengan harapanku. Apa kamu bukan yang tepat atau belum pantas untuk aku jalani? Ya, mungkin itu. 

Walaupun demikian, tentang kata orang kepadaku bahwa memperjuangkan dirimu hanya membuang-buang waktu. Menurutku, setiap orang selalu mendambakan ketulusan ataukah pasangan yang penuh dengan kesetiaan dan ataukah hubungan tanpa perpisahan hingga ajal berkata sudah. 

Aku bosan memainkan peran yang sesungguhnya bukan diriku sendiri, hal paling susah untuk aku dapatkan selama ini adalah menjadi diriku sendiri, tanpa dibungkus dengan kemunafikan. Lantas untuk apa aku melupakan proses menjadi diri sendiri itu? Memulainya, menjalaninya, hingga mendapatkannya bukanlah sesuatu yang mudah. Memikirkannya saja aku sudah lebih dulu merasakan lelahnya, tidak! Aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri lagi! Aku sudah muak terus-terusan berbohong bahwa aku tidak menginginkan seseorang dalam hidupku, aku ingin kamu tau dan mereka tau bahwa berpura-pura lebih capek daripada memikirkan masa depan. 

Hingga akhirnya, aku sedikit tak peduli dengan semua itu, menjalani proses ini sangat menyenangkan bila itu denganmu. Satu kesatuan yang mendorongku tetap bergerak maju. 

Kamu adalah sebagian yang sudah menjadi prosesku, tersisa itu yang belum aku temukan jawabannya. Apa aku bisa atau tidak? Entah, aku serahkan saja semuanya pada Tuhan. Paling tidak aku sudah memaksimalkan diriku untuk tetap berjuang dan terus berjalan pada apa yang sudah menjadi pilihanku, walaupun pada akhirnya kita tidak bersama, hitung-hitung itu adalah bagian dari risiko dalam memperjuangkan dirimu. 

Aku terombang-ambing, hubungan tanpa kepastian ini sebetulnya sudah punya jawaban di akhir cerita. Tapi, keputusan ada padaku, apa pun yang menjadi pilihanku adalah sesuatu yang menurutku baik. Kalaupun pilihanku adalah bertahan, aku sudah mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi. Selagi aku masih mampu, aku akan mempertahankan hubungan ini dan menjalaninya sebaik mungkin, toh tidak semuanya berakhir dengan kesedihan. Pasti ada suatu cela di balik kesedihan yang menjadi obat bagiku dan mungkin juga bagimu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tetanggaku

"Orang yang paham akan cenderung mempelajari dan, orang yang tidak paham akan cenderung menghakimi." Masyarakat Sini. Beginilah hidup di tengah-tengah mereka. Apa-apa kalau kita orang tak berada yah di lihat ke bawah. Padahal aslinya otak mereka harus sedikit di bedah. Tidak harus banyak. Sedikit saja.  Hidup di tengah-tengah mereka, tidak jarang membuatku menepi. Bukan karena takut atau tidak berani. Tapi, mau dikasih tahu mereka tidak peduli. Dibiarkan malah menjadi-jadi. Lepas itu. Mereka yang sepaham akan sama-sama mempelajari dan mereka yang tidak sepaham akan sama-sama menghakimi.  Tak jarang pula, aku kerap menemukan kejanggalan. Yang katanya beretorika jadinya mengada-ada. Yang katanya berlogika jadinya pasang dada. Yang katanya punya segalanya jadinya meminta-minta tenaga kerja. Jadi pusing yang pamam mana dan yang tidak.

Dari kaca mata mereka

Ayam-ayam jantan berkabar ke seluruh kota. Si tukang koran baru saja lewat. Para mahasiswa satu per satu tampak lalu lalang. Pameran-pameran kaos baru saja di mulai. Stile-stile mulai beradu gengsi. Sepatu putih, celana jeans , dan tentu saja jaket over size . Kalau tidak, yah pasti baju dengan ukuran yang melebihi badan si pamerannya.  Kurang lebih dua menit. Aku baru saja tiba di kampus. Celana ala kadarnya. Kata mereka sih, ini adalah celana buangan. Kemeja flanelku terkesan seperti "Jamet" kata temanku. Itu masih mending, masih nyaman, dan tentu tidak merugikan mereka. Di atas kepalaku berdiamlah kupluk yang paling banyak di lirik oleh mereka. Kata mereka lagi, ini membuatku tampak seperti anak kuli bangunan bukan anak kuliahan.  Tertelan menit. Lewatlah sepatu putih melintas di depanku. Kali ini aku sudah duduk di tangga. Mumpung dosen belum ada, barangkali sebatang rokok masih bisa membunuh pikiranku tentang lirikan mereka. Contohnya saja yang baru saja lewat. Sepatu pu...

Pemulihan - Hari Pertama

Pagi  ini terasa berbeda lagi dari pagi yang kemarin. Hari ini lebih sedikit membahagiakan, walau pikiran-pikiran masih sering mengacaukan perjuangan pemulihan ini. Pulih yang saya maksudkan adalah pulih dari apa yang terus menempel dalam pikiran. Dengan kata lain adalah pikiran buruk serta ketakutan. Dari pengantar hingga sampai di halaman ini, mungkin masih belum cukup untuk menjelaskan apa sebetulnya tujuan tulisan ini. Saya sendiri sebagai dalang lahirnya tulisan ini tidak mengerti apa yang saya tuliskan. Ini hanya semacam bercerita tanpa suara. Melepaskan keresahan yang ada dalam pikiranku. Bukankah kekacauan juga seperti itu, sering kita tidak tahu di mana letak kekacauan bermula. Tapi semalam saya mendapatkan sebuah kesadaran, bahwa kekacauan ini berawal dari kekecewaan kita yang mulai menyerempet masuk ke dalam batin kita. Yang pada akhirnya menjatuhkan kita pada dunia yang bukan kita inginkan. Kita jauh dari Tuhan. Kita kekurangan kebahagiaan. Kita haus akan perhatian, ent...